Kamis, 28 Mei 2015

LAMANABI, pesona alam dan biara Trappist di ujung timur pulau Flores


Kantor libur 3 hari. Berdasarkan kalender, Kamis adalah hari Kenaikan Yesus Kristus, Sabtu Hari Isra Miraj, dan Jumat sebagai hari Kejepit Nasional menjadi hari yang diliburkan dalam kalender kerja di kantor. Kesempatan berharga ini layak dimanfaatkan untuk memenuhi hobby  traveling ku. Tidak harus jauh2, sekitar Flores Timur saja... alam Lewotana (kampung halaman) ku juga indah, exotic dan masih banyak spot yang belum kita kenal dan explore.. 


So, setelah di-pikir2.. di-timbang2.. akhirnya pilihanku jatuh ke daerah Lamanabi. Apalagi beberapa bulan lalu sempat bertemu dan ngobrol cukup lama dengan Romo Michael, pemimpin biara Trappits di Lamanabi yang di akhir ngobrol kami, beliau mengundang saya untuk sesekali berkunjung menikmati  pesona alam dan kompleks pertapaan Lamanabi. Selain Romo Michael yang  adalah Pemimpin tertinggi di pertapaan Trappist-Lamanabi, saya juga sudah mengenal baik beberapa rahib yang ada di Lamanabi.. ada Frater Anton, Frater Francis dan Frater Foncis. Mereka beberapa kali bekerjasama dengan kantor kami untuk suatu kegiatan non rohani di biara tersebut




Kapel di Biara Trappist - Lamanabi


Jumat pagi itu,  saya mengajak staf kantor saya, Vitalis. Mendapat informasi bahwa kondisi separoh jalan dari Larantuka ke Lamanabi  rusak berat, kami menggunakan sepeda motor Honda Versa yang agak besar dan tinggi. Setelah mempersiapkan segala sesuatunya.. tepat jam 08.00 pagi kami berangkat . 

Larantuka ke Waiklibang, ibukota Kecamatan Tanjung Bunga berjarak sekitar 28 km. Dari Larantuka sampai kilometer 16 kondisi jalan beraspal hotmix.. setelah melewati sekitar 6 km jalan rusak, berlubang  dan sedang dalam pengerjaan (semoga tidak lama lagi selesai) kami kembali melaju diatas jalan beraspal hotmix sampai ke Waiklibang, ibukota Kec. Tanjung Bunga. Di pertigaan Riangpigang, dekat kantor camat, kami mengambil ruas jalan bagian kanan untuk  menuju ke Desa Lamanabi. Memasuki jalan ini kami harus extra hati-hati... jalan yang tidak terlalu lebar, benar-benar rusak parah. Dengan kondisi jalan dan topografi wilayah yang cukup memacu adrenalin, kami harus memaksimalkan kemampuan mengendarai kendaraan. Menaiki beberapa tanjakan dan turunan yang kadang-kadang cukup extrim. Menyusuri medan ini, selain kondisi fisik kita harus sehat , kondisi kendaraan juga harus prima.  Tidak disarankan menggunakan motormatik ato mobil  dengan mesin yang tdk begitu tinggi, karena mudah terbentur dengan batu-batu jalanan. Dari Waiklibang ke Lamanabi hanya berjarak skitar  8 km kami tempuh dalam waktu hampir 1 jam... bayangkaaan..... lama skali kan....

Di sepanjang jalan mata  kita akan dimanjakan dengan panorama  yang indah... padang savana membentang luas dan alam yang natural dengan udara bersih.... Sesekali kami berpapasan dengan beberapa warga desa yang berjalan kaki membawa hasil kebunnya untuk dibawa ke Waiklibang dan Larantuka untuk dijual.. juga anak sekolah yang harus berjalan kaki skitar 8 km  untuk mengenyam pendidikan SMP/SMA terdekat yang hanya ada di ibukota kecamatan... (jiahhh...... miris.. di tempat lain letak sekolah dekat rumah kalaupun jauh bisa mennguunakan angkutan mudah atau kendaraan pribadi. Ibu-ibu berbelanja ke supermarket pake mobil mewah.. ). Sejatinya, tidak harus  sepeda motor atau mobil yang masyarakat sini butuhkan, setidaknya akses jalan yang baik sehingga memudahkan angkutan umum ataupun ojek membantu arus transportasi orang dan barang dari dan ke Desa/kota kecamatan/kabupaten.. 

Kicauan burung-burung yang beterbangan dengan warna bulunya yang indah  melengkapi perjalanan kami  (hayooo... jangan suka menembak burung ya.. mungkin saja ada satwa khususnya burung  yang endemik Flores  populasinya hampir punah, selain itu juga untuk menjaga rantai makanan dalam ekosistim alam kita.. dan tahukah kamu.. bahwa burung akan memakan buah-buahan di hutan lalu bijinya dibiarkan jatuh atau dibawa terbang dan dijatuhkan di tempat lain.. lalu akan tumbuh pohon baru  yg akan membantu menyiapkan oksigen untuk hidup kita dan untuk menangkap/menyimpan air supaya kita memiliki persediaan air yang cukup..).  Adapula rombongan ternak sapi yang sedang merumput di tenganh padang. Oiya, dua kali terlihat biawak (disini disebut “Ote”) melintasi jalan tepat dihadapan kami. Bahkan menurut yang pernah kesini, terkadang mereka berpapasan dengan babi hutan atau bertemu rusa. Ternyata keanekaragaman hayati khususnya satwa liar disini cukup banyak juga ya..
.

padang savana di Lamanabi
Hampir memasuki kompleks biara Trappist terdapat beberapa embung-embung yang cukup besar sebagai tangkapan air untuk membantu pengembangan pertanian, perkebunan dan peternakan.
embung-embung Abelen Golit di daerah sekitar Lamanabi
Kami memasuki pintu gapura di depan jalan menuju kompleks pertapaan Lamanabi. Di sisi kanan terlhat tulisan dan penunjuk arah ke pertapaan Trappist yang menjadi tujuanperjalanan kami.Dari situ sudah terasa keteduhan dan kesejukan.. banyak  pohon dan bunga yang ditanam secara rapi disisi kiri kanan jalan memasuki kompleks biara.
Kami pun tiba di biara pertapaan Trappist Lamanabi. Ternyata di depan lobby sudah ada Frater Foncy menyambut kami dengan ramahnya. Kami lalu diajak  ke ruang makan.. dan sesuai aturan di biara ini.. kami harus swalayan dalam menyiapkan makan dan minum.. kami meracik teh hangat dan menikmati pisang goreng sambil melanjutkan ngobrol-ngobrol dengan Frater Foncy. Setelah minum teh, Frater Foncy membawa kami mengelingi kompleks biara yang asri dan teduh. Kami berjalan melewati selasar dan taman-taman bunga sambil ngobrol  banyak hal tentang sejarah, aktifitas  serta fasilitas yang ada di biara ini.
Biara Trappist merupakan salah satu cabang dari keluarga besar Ordo Benediktin. Ordo ini didirikan oleh Uskup Benediktin pada abad Vi di Italia. Ordo ini melahirkan Ordo pembaharu yaitu Ordo Sistersiensis Obsevatie  (OCSO) pada abad XVII oleh Rahib Robertus., Rahib Albertus dan Rahib Stefanus Harding setelah revolusi Paerancis. Biara OSCO sering disebut juga biara Trappist karena diambil dari nama tempat pertama didirikannya biara OCSO yaitu La Trappe Italia.
Tahun 1953, OCSO masuk ke Indonesia dan biaranya berada di Rawaseneng, Jawa Tengah, yang kemudian  membuka cabangnya di Lamanabi, wilayah keuskupan Larantuka.
Lamanabi dipilih karena jauh dari keramaian, memiliki sumber air yang sangat memadai dam masih memiliki hutan belantara.
Biara ini melakukan pelayanan ke dalam dan keluar biara. Pelayanan ke dalam antara lain pelayanan doa bagi orang-orang yang memoho bantuan, serta pelayanan kamar tamu berupa pelayanan  rekoleksi, retret, konsultasi dan bimbingan rohani bagi para tamu yang datang baik perorangan maupun berkelompok.
Pelayanan keluar dalam bentuk pelayanan sosial kemasyarakatan para Rahib Komunitas OCSO Lamanabi antara lain sering mengundang masyrakat sekitar untuk melakukan kegiatan bakti sosial, antara lain merawat dan menjaga kelestarian lingkungan. Komunitas ini juga menyediakan bantuan jasa kendaraan, bantuan sembako bagi yang mengalami musibah. Bantuan pelayanan kesehatan berupa obat-obatan, bantuan dana  kesehatan bagi yang tidak mampu, bantuan dana pendidikan bagi anak dari kelurga kurang mampu.

Pertapaan Lamanabi  memiliki sebuah kapela yang yang bangunannya sangat artistik. dindingnya berbentuk bulat yang bagian luarnya di lapisi dengan batuan alam warna-warni. Atap bertentuk buat seperti kubah. Interior kapel juga dirancang dan diseting sangat artistik engikuti bentuk gedung yang membulat. Terdapat sebah altar berbentuk cawan dan bangku-bangku kayu untuk tempat duduk umat tersusun melingkar. menghadap altar. Di bagian atap yang cukup tinggi terdapat lukisan bergambar langit biru dan awan-awan.. seolah-olah kapel tersebt tanpa atap atau beratapkan langit.

Para Rahib disini lebih menekankan pada kesunyian, ketenangan dan keheningan hidup. Sehingga semua tamu yang dtang diharuskan untuk mengikuti nya. Para rahib ditekankan pada kehidupan mandiri, hidup dari usaha dan kerja keras sendiri. Tidak heran kalau semua pekerjaan mereka lakukan sendiri tanpa harus merekrut banyak karyawan. Peekrjaan rutin rumah biara mulai dari memasak, mencuci, menyapu, mengepel lantai, menerima dan melayani tamu dilakukan sendiri.
Interior kapel Lamanabi
Bagi pengunjung/tamu yang ingin melakukan kegiatan rekoleksi atau retret atau sekedar berkunjung kesini dan mau nginap disini terdapat fasilitas yang sangat memadai. Tersedia kamar2 yang sangat representatif dengan kamar mandi dalam.. suasananya seperti di hotel-hotel.. Ada 15 kamar, masing-masing terdapat 2 tempat tidur. kalo mau nginap sini bisa, dengan jasa nginap Rp 150.000/perorang/hari  included makan 3 kali dan snack 2 kali... Murah meriah kan?..Tarif anak kos tapi fasiliats bos-bos.....

bagian depan kamar-kamar yang disiapkan bagi tamu yang mau nginap di Biara Trappist Lamanabi
Selain adanya Biara Trapist di daerah Lamanabi, infomasi yang saya dapatkan sebelumnya bahwa di daerah Lamanabi terdapat air terjun. Saat saya konfirmasikan, Frater Foncy pun membenarkan. Katanya terdapat beberapa lokasi air terjun. Bahkan ada  air terjun yang cukup besar dengan debit air yang dapat digunakan untuk pembangkit listrik. Sejak tahun lalu disana sedang dikerjakan pembangunan turbin pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTM) namun untuk sementara terhenti karena kondisi jalur kesana rusak berat dan sedang menunggu alat dari luar daerah. . Frater Foncy  menawarkan 2 orang pekerja di biara, Rafael dan Bastian, untuk mengantar saya ke lokasi air terjun tersebut. Kami harus menyusuri kebun pisang, kopi, dan ladang petani serta  sedikit hutan. Ada jalan setapak namun sudah tertutup semak. Kadang kami harus membuka jalan baru. Rafael di depan siap dengan parang/kelewang untuk menebas semak/rumput membuka jalan baru untuk kami lalui. Kami mengambil jalan pintas untuk mempercepat samapi ke tujuan. Untuk itu selain harus melewati semak belukar kami pun harus menuruni tebing curam  yang baru masih terdapat bekas-bekas longsor... harus extra hati-hati..arena kaki pijakan kurang pas bisa tergelincir jatuh ke jurang. Setelah kurag lebih 2 km kami tiba di sebuah air terjun.. indah sekali.. Air terjun Wai Tandoro, dengan ketinggian sekitar 20an meter.. memberikan pesona alam yang sangat natural. Tidak banyak yang pernah kesini sehingga masih sangat natural. Airnya jatuh memecah di batu-batu gunung di dasr jurang dan mengalirkan airnya enyusuri snugai kecil berbatu-batu. Tidak menyia-nyiakan anugerah Tuhan ini.. kami menikmati dingin dan sejuknya air terjun ini.. pegal2 karena perjalanan langsung hilang oleh “pijatan” air terjun yang jatuh di badan...pijat alternatif nih ceritanya..hehe...  

Air terjun Wai Tondora, Lamanabi

Setelah puas mandi dan jeprat-jepret... kami pun melanjutkan perjalanan untuk mengunjungi air terjun yang lain. Manyusuri sungai dengan batu-batu gunung yang cukup besar. Sekitar 3oo meter dari air terjun Wai Tandoro kami menemukan sebuah air terjun yang cukup ini... Walaupun lebih keci dari Wai tandoro tapi air terjun ini terlihat lebih indah... Rafael dan Bastian, guide lokal kami juga tidak tahu apa nama air terjun ini... Saya kasinama saja “air terjun La Trappe” untuk mengingat asal-usul biara Trappist.. hehe

Air terjun "La Trappe"
Rafael dan Bastian menawarkan untuk kami melanjutkan perjalanan ke air terjun yang lebih besar, air terjun Pito Waimatan (7 mata air) disana, yang sedang dibangun turbin pembangkit listrik.. kebayang kan... pasti debit airnya besar... pesonanya menjanjikan memang... tetapi harus tracking sekitar 3 km lagi... alamakkkk....membayangkan perjalanan datang tadi sejauh 2 km lalu ke air terjun tersebut 3 km lalu kembali ke biara 5 km.... rasanya persendian tulang sudah mau lepas dari tempatnya..  Sudah ahh.... masih ada waktu.... saya pun memutuskan perjalan kami sampai disini saja.. mungkin lain kali kita bisa agendakan lagi perjalanan angsung ke sana. Sebanarnya ada jalan yang sudah dibangun yang bisa dilalui kendaraan, tetapi pada musinm hujan di buan Januari yang lalau ada beberapa bagian yang yang putus dan tidak bisa dilalui kendaraan lagi.. jadi jalan satu-satunya harus berjalan kaki... 
Kami pun memutuskan mengambil jalan lain dari jalur tadi yang kami datang. Jalur yang lebih landai. Baru sekitar 100an meter berjalan.. wah.. surprise..kami temukan lagi sebuah air terjun kecil tapi kembar. Walaupun debit air sedikit tapi suasana sekitarnya menawarkan keindahan, kesejukan dan kesegaran. Hijau nya pohon dan warna batu alami menambah keindahan air terjun bernama Wai Numo

air terjun Wai Numo
Tidak lama kami disini, kami meneruskan perjalanan untuk kembali ke biara. Harus menapaki jalan setapak di bukit kecil  dan menyusuri tebing yang tidak begitu terjal. Di tengah perjalanan, kami melewati ladang  padi yang tidak begitu luas, dan baru saja dipanen.  Terdapat sebuah  pondok  yang nama setempatnya “oring”. Di dalamnya terdapat padi hasil panen yang disimpan dalam 2 wadah besar seperti profil tank (utk air) yang terbuat dari anyaman daun pandan. Rupanya hasil kebun kali ini cukup baik.  tempat peristirahatan sementra kami untuk sedikit meluruskan otot2 yang mulai pegal lagi..

Oring = pondok di kebun
Setelah cukup bersitirahat,  kami kembali melanjutkan kembali ke Biara melintasi kebun kopi dan beberapa kebun. Kami juga bertemu warga yang sedang menggergaji pohon membuat papan dengan mesin chainsaw. Sempat ngobrol-ngobrol sejenak. Katanya pohon tersebut tumbang pada musim hujan beberapa bulan lalu. Semoga mereka tidak sengaja menebang pohon-poho yang ada... Stop ilegal logging.!!!!. hehehe...

stop ilegal loging
Dari kejauhan terdengar bunyi Lonceng, ini juga berarti tidak lama lagi kami akan tiba kembali di biara. Menurut Rafael dan Bastian, lonceng tadi menunjukkan waktu pukul 14.15 waktu akhir istirahat dimana para rahib akan melanjutkan aktifitas ibadat jam ke-9 dan para pekerja kembali ke tugasnya masing-masing. 

Setelah berjalan sekitar 500 meter, kami pun iba kembali di biara. Frater Foncy telah menunggu dan menjemput kami di lobby. Kami langsung diarahkan ke kamar makan Makan siang telah tersedia. Hmm..... capek, lapar, jauh pun terobati... Makan siang yang terberkati.  Frater Foncy menemani kami makan siang sambil bercerita tentang banyak hal. Tema cerita  adalah tentang perjalanan kami tadi, juga banyak membahas tentang perlunya menjaga kelesatian alam, kearifan lokal dan lain sebaginya. Sebagaimana aturan di biara ini,... setelah makan kami harus mencuci sendiri perlatan makan yang kami gunakan. Tak mengapa.. ini mengajarkan kami untuk bersyukur  dan bertanggungjawab... menginspirasi saya agar nanti kembali ke rumah setelah makan seharusnya langsung sendiri mencuci peralatan makan dan tidak membiarkan  begitu saja di meja dan orang rumah yang harus membersihkannya.

Hari semakin sore.  Dengan mengucapkan terima kasih yang berlimpah atas peyambutan,  keramahtamahan, pelayanan  dan kebaikan para Rahib dan pekerja di biara ini.. kami pun meninggalkan Lamanabi kembali ke Larantuka... Walaupun harus kembali melewati jalan berbatu-batu namun menjadi tak berarti dibanding apa yang telah kami nikmati selama berkunjung ke Lamanabi. Pengalaman berharga.
Semoga suatu saat dapat kembali kesini.. bertemu dengan para Rahib dan pekerja Biara Trappist yang  sangat familiar, juga untuk mengunjungi air terjun yang besar itu.. *spot prioritas traveling brikutnya*..

oiya, jika anda punya waktu lebih selain ke Lamanabi, mampirlah berkunjung ke pantai Bluhu dekat desa Lamaojan yang juga ada di Kec. Tanjung Bunga... Pantai yang bersih, indah, dan air laut yang tenang, teduh menyejukkan hati....
.

pantai Bluhu di Tanjung Bunga
Anda ingin berkunjung ke Lamanabi?.. 
Bila anda dari luar pulau Flores, kita anggap saja starting pointnya di Bali, bisa dengan pesawat ke Maumere atau Kupang. Bila turun di Maumere, anda harus melanjutkan jalan darat sekitar 3 jam ke kota Larantuka, sedangkan bila turun Kupang, bisa dengan pesawat, kapal Pelni atau kapal Fery menuju Larantuka. Selanjutnya mengikuti jalur seperti cerita saya di atas...
Ok.. smoga perjalanan anda menjadi pengalaman berharga dan menyenangkan.
....

Senin, 25 Mei 2015

MEKO, pulau pasir timbul di Flores Timur, the dreamland


“kringgg... kriiinngg.... waktunya untuk bangun...sekarang pukul 04.30”...
 bunyi alarm telpon genggamku berkali2 membangunkan tidurku yg juga membuyarkan mimpi indahku kali ini dlm episode ‘terdampar di pulau eksotik’... tak apalah...  pikirku dlm hati..  walaupun tadi itu  cuma mimpi.. tapi sebentar lagi “the dream comes true..”...mimpi akan menjadi kenyataan...
Kucek2 mata... regangkan badan dan langsung lompat dr tempat tidur.. bersih2... prepare segala sesuatunya ... .liat cek list yg hrs dibawa ternyata sudah lengkap.... dan... GO..!!!!... walopun pagi itu lumayan dingin tapi dengan semangat ‘45..  tancap gas ke pelabuhan PPI Larantuka sebagai meeting point...  Hari ini (sabtu, 23 Mei 2015) bersama teman2 akan melakukan perjalanan  dengan judul “Fam Trip 1 day sail around Adonara island” yg dalam itinerary-nya dijadwalkan berangkat pukul  05.00 wita....


Tiba di Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Larantuka baru ada beberapa orang  dari rencana  30 orang partisipan dlm trip kali ini... kami pun ber-say hello dan tanya asal serta  kabar masing2...
Sedang  asyik2 ngobrol.. ada penyampaian dari panitia bahwa kami harus berpindah ke pelabuhan Larantuka karena  kapal tidak bisa bersandar di PPI... kami pun harus bergeser sekitar 500 meter ke pelabuhan sebelah..

Satu persatu peserta trip berdatangan.... total 28 orang (sebenarnya peserta yang mendaftar 32 orang tapi sampai detik-detik terakhir ada yang tanpa brita walaupun sudah dikontak berulang-ulang.... mungkin ketiduran....).. Peserta trip kali ini, dari  Larantuka, selain saya, ada pak Alamsyah, no Ambo, bang Hexsa  dan beberapa dokter internship di Larantuka (dr Greta, drg Risna), ada yang dari Pertamina, dll.... juga ada bang Simon Lamakadu dr Jakarta, dan om Ebed dari surat kabar online Flores Bangkit.  Partisipan lainnya adalah teman2 komunitas MofersFotografrer dari Maumere seperti  bang Tribuana, tata Mphy, ada juga mba Mariana Tanjung dan suami.. juga ada 8 orang peserta yang berasal dari  PLTU Ropa, Ende.. sedangkan Event Organiser alias panitianya adalah om Joddy, ama Ansis dan bang Wilbert yg merangkap sebagai guide..Pukul 05.10 wita  tali kapal pun dilepas dari tambatannya.... dengan ditemani 8 orang ABK kami pun memulai pelayaran di pagi hari yang dingin dengan rona fajar yang  mulai muncul di balik pulau Adonara.

peserta trip umumnya mengambil posisi di top roof kapal untuk menikmati sunrise yang indah

Laut pun tenang., Kapal melaju dengan mantap memasuki selat sempit antara pulau Adonara dan Solor... Peserta trip yang kebetulan sebagian besar adalah penggemar fotografi, mereka pun mengambil posisi masing-masing... umumnya di top roof  (atap) kapal untuk mengabadikan view sunrise.. pagi itu sang mentari muncul dari balik gunung Ile Boleng, sebuah gunung aktif dengan ketinggian 1.659 mdpl yg juga sebagai landmark pulau Adonara...  (suatu saat saya ingin mencapai puncaknya... hehehe..)

Sang fajar mengintip dari balik gunung Ile Boleng

Perjalanan mengelilingi pulau Adonara  pagi itu melewati selat sempit yaitu selat Solor dan selat Boleng dimana di sisi selatan terlihat pulau Solor dan pulau Lembata..Kedua pulau ini juga menyimpan sejuta pesona... smoga ada trip berikutnya mengelilingi  (sail ataupun overland) kedua pulau ini.. Dalam pelayaran beberapa kali kami berpapasan dengan sampan kecil atau bagan nelayan pencari ikan...
bagan nelayan dengan background bukit-bukit di puau Solor

Setelah 2  jam perjalanan kami melewati ibukota kecataman Adonara Timur, yaitu Waiwerang.. kota pelabuhan di pulau Adonara yang digadang-gadang sebagai calon ibukota Daerah Otonom Baru (DOB) di NTT, Kabupaten  Adonara yang sedang diperjuangkan...  saat kami melewatinya  Waiwerang masih diselimuti kabut pagi...

Waiwerang diselimuti kabut pagi... sejukk....

Kapal kayu KM Purin Lewo dengan mesin berkekuatan 320 PK melaju dengan kecepatan rata-rata 11-12 mil perjam. Om Faustinus, kapten kapal, mengemudikan kapal melewati selat Boleng dengan arus Watuwoko-nya yang terkenal cukup ganas.. was-was juga...tetapi yang sedikit menghibur.. menurut beberapa ABK pelayaran kali ini tidak ada yang perlu dikhawatirkan apalagi di sisi kiri lambung  kapal terlihat beberapa ikan lumba-lumba sesekali muncul ke permukaan memandu perjalanan kami.. dan menurut  keyakinan para pelaut bahwa itu menunjukkan bahwa pelayaran kali ini aman terkendali... (sayangnya camera saya selalu terlambat mengabadikan ikan lumba-lumba tersebut).  Arus Watuwoko sendiri merupakan pusaran arus yang terjadi karena pertemuan arus airlaut dari Laut Sawu dan Laut Flores melalui selat Solor, selat Boleng dan selat Flores..


salah satu pusaran arus Watowoko

Mengurangi rasa takut oleh putaran arus Watuwoko yang sempat mengombang ambingkan kapal kami... saya pun sengaja menyibukkan diri dengan memandang view yang indah sekaligus mengabadikan dengan camera jadul saya... Salah satu view yang indah adalah pemukiman nelayang Desa Boleng yang berada di kaki gunung Ile Boleng. Penduduk desa ini terkenal juga sebagai nelayan tangguh yang biasa mencari ikan sampai jauh  ke tengah samudra..

kampung Boleng di kaki gunung Ile Boleng

Selama perjalanan peserta Trip mengabadikan keindahan daerah sepanjang sisi pantai  pulau Adonara dan pulau Solor serta Lembata dari kejauhan.. 

Keluar dari  selat Boleng.. jauh disana telah terlihat tanda-tanda pulau pasir timbul yang dikenal sebagai pulau MEKO, yang merupakan destinasi utama perjalanan kali ini... kapal harus diarahkan memutar agak jauh karena kedalaman yang tidak mencukupi untuk dilalui kapal di sekitar pulau pasir dan pulau-pulau kecil lainnya karena dikuatirkan dapat membuat kapal kami kandas atau karam. Setelah melewati dan mengitari beberapa pulau kecil di sekitar perairan Bani Meko--ada pulau Kelelawar, pulau Ipet, pulau Watan Peni (2 pulau yg akan terlihat tersambung saat air laut surut)-- sekitar jam 10.00 wita  kapal kami pun mendekati pulau pasir Meko, om Jody dan om Simon menghubungi pak Kamilus dan pak Lambert.. warga asli Adonara, yang menjadi kontak person kami untuk bersama-sama mendarat di pulau pasir Meko.  Pak Kamilus Tupen Jumat dan pak Bernard sejak pagi telah berada di Desa Meko, desa/pemukiman nelayan terdekat dari pulau pasir Meko. Mereka datang dengan sebuah perahu/sampan ‘ketinting’ untuk memandu kami mendekati pulau pasir, sekalian mengangkut kami dari kapal Purin Lewo menginjakan kaki di pulau pasir Meko. KM Purin Lewo lego jangkar sekitar 30an meter dari garis pantai. Ketinting pun 5 kali bolak balik memuat kami, 4-6 orang sekali muat untuk dapat menginjakkan kaki di pulau Meko ini.


pulau pasir timbul, Meko, di perairan Adonara, Flores, NTT

Om Jody dan tata Mphy sudah tak sabar lagi menunggu ketinting.. mereka langsung terjun ke laut yang bening dan berenang menuju pulau Meko.
Sedangkan bang Simon Lamakadu yang telah siap dengan swim suit dan perlengkapan snorkeling  (masker/google, snorkel, fin) langsung terjun ke laut menikmati indahnya alam bawah laut..  

snorkeling time.... menikmati indahnya panorama alam bawah laut Meko

Setelah menginjakkan kaki di pulau pasir ini, terlihat expresi kebahagian yang tak terkira dari peserta trip ini.. karena ini pengalaman yang sangat berharga bisa berada di sini.. pulau di tengah laut.. tak ada satu pun tanaman yang tumbuh ataupun batu karang... hanya ada pasir putih yang sangat halus. Sedikit terlihat ada semacam sampah dari tanaman2 laut yang dibawa oleh gelombang laut dan terdampar/ tertinggal saat air laut surut. Ada juga beberapa sampah plastik. Sebagian dari kami ada yang memungut sampah plastik untuk di bawa ke kapal untuk diamankan sesampainya di Larantuka (hayoo.. dilarang membuang sampah ke laut..!!!!).

Masing-masing kami mengexplore pulau pasir yg luasnya kira-kira  setengah lapangan sepak bola ini. Ada yang hanya berjalan mengelilingi  pulau,  ada yang mandi di beningnya air laut..ada yang hanya bercengkerama bersama teman-teman, ada yang sibuk mengabadikan momen berharga ini. Camera pun beraksi... berbagai angle dan komposisi diatur untuk menghaslikan foto terbaik... tidak lupa foto selfi  baik sendiri2 maupun berkelompok, ada yang bergaya bak model terkenal.. ada yang melakukan foto levitasi dengan cara melompat setinggi2 nya.... berbagai gaya dikeluarkan demi mengabadikan bahwa pernah ada disini...   
.. foto2...di pulau pasir Meko

Dari hasil ngobrol-ngobrol santai... muncul konsep, ide dan usul saran  dari beberap peserta agar ada upaya untuk menjadikan tempat ini sebagai suatu kawasan konservasi karena selain ada pulau2 kecil dengan vegetasi dan biota serta satwa yg ada di kawasan ini yang perlu dilindungi misalnya adanya ribuan kelelawar yang mendiami pulau kelelawar, kemudian beberapa minggu sebelumnya ada ikan duyung (??) yang terperangkap di jaring nelayan, adanya terumbu karang, burung-burung laut dan mungkin masih banyak lagi flora dan fauna di darat dan laut yang belom terexplore dan teridentifikasi. Tidak lupa juga ada yang menyarankan untuk menjadikan pulau ini sebagai salah satu destinasi pariwisata di Flores Timur. 
Oiya... kami juga tidak lupa melakukan ritual ‘foto keluarga’ alias foto bersama.. hehehe....

Ritual wajib.. "foto keluarga"...
foto bersama peserta Fam Trip 1 day sail around Adonara island
Sebenarnya ini kali yang kedua saya mengunjungi pulau pasir Meko.. Pertama kali, tahun 2014 yang lalu kesana kami cuma bertiga, saya bersama Tata, teman asal Manado dan ama Papi (guide kami yg warga asli Adonara). Saat itu kami overland pulau Adonara sampai desa Meko lalu dengan sampan nelayan diantar ke pulau pasir. 
perahu nelayan yang mengantar kami ke pulau pasir
Sebelum turun, perahu kami terlebih dahulu mengelilingi pulau pasir tersebut. Ini salah satu gambar yang bisa saya abadikan saat itu.

pulau pasir timbul Meko, dari sisi yang lain
Saat itu kami menyaksikan banyak burung-burung laut yang terbang diatas pulau pasir tersebut. Katanya, kalo banyak burung laut berarti di sekitar situ banyak ikan-ikan kecil.. dan juga berarti ada ikan-ikan besar  di bagian yang lebih dalam lagi.. Alam pulau pasir Meko memang indah.

burung-burung laut bermain di atas pulau pasir...

Kembali ke laptop (pinjam istilahnya Tukul...hehe...), kita kembali ke cerita Trip kali ini....
Sekitar 2 jam kami berada di pulau pasir Meko. Mentari pun makin tinggi.. panas menyengat, perut minta segera diisi... kami pun berkemas-kemas... perahu ketinting kembali bertugas bolak-balik mengangkut kami kembali ke kapal.  Makan siang sudah menunggu... dengan menu hasil racikan ala chef Ansis, yaitu ketupat, ikan goreng, sayur rumpu rampe dan serundeng..  wah... maknyussss... kalo sudah begini... menu apapun yang ada rasanya hanya "enak dan enak sekali".. apalagi semuanya telah siap tersedia... dan... sepertinya menu kali ini adalah menu terlezat yang pernah kutemukan...  (ahaiiii....lebbay.....). bang Tribuana bahkan nambah..dan nambah lagi... (karena lezatnya menu yah.. bukan karena porsi mengikuti ukuran badan. hehe..peace bang Tri..).
ketinting bolak balik mengantar peserta trip PP dari kapal ke pulau pasir
Tepat jam 13.00 kapal pun angkat jangkar... deru mesin kapal terdengar memacu kapal memecah gelombang...sang kapten dengan hati-hati mengarahkan kapal menuju Larantuka... banyak di antara kami yang malah terserang penyakit wajib sehabis makan.. yaitu “ngantuk’.. dan beberapa dari kami mengambil posisi masing-masing untuk tiduuurr..., apalagi dininabobokan oleh ayunan-ayunan gelombang dan sepoi-sepoi angin laut. Kapal menyusuri pantai utara pulau Adonara. Di kejauhan terlihat kampung Sagu, kampung Adonara (di kampung ini ada danau Kotakaya dan sisa benteng Portugis), lalu memasuki selat Gonsalu menyisir pantai sekitar  Waiwadan dan  Wureh.
Rencana semula menyinggahi pulau Mas di perairan Tanjung Bunga, namun karena gelombang cukup besar sehingga kapal diarahkan langsung ke Larantuka. Sebelum bersandar ke pelabuhan Larantuka kami sempat mengitari pulau Waibalun.. yang berada
 di depan pelabuhan fery Waibalun.. pulau kecil  berbentuk bulat dan ditumbuhi beberapa pohon yang tampak indah hijau-menguning diterpa cahaya mentari sore melengkapi serunya perjalanan kami hari ini.
pulau Waibalun

Sekitar jam 16.30 kapal pun berlabuh kembali di pelabuhan Larantuka... kami pun mengakhiri perjalanan kami yang penuh kesan dan luar biasa... 
Fam Trip 1 day sail around Adonara island....with main spot, the Dreamland, MEKO...
Sayonara... sampai jumpa di Trip brikutnya...

oiya, untuk mencapai pulau pasir timbul,Meko... bila starting point-nya dr Denpasar, bisa dengan pesawat  ke Maumere lalu jalan darat, 3 jam ke Larantuka. Atau dari Denpasar terbang ke Kupang lalu dari Kupang ke Larantuka. Dari Larantuka ke pulau pasir Meko bisa carter kapal langsung ke pulau Meko atau  menyebrang dulu ke pulau Adonara (ada kapal reguler) lalu jalan darat sekitar 2 jam ke Waiwuring atau Desa Meko dan selanjutnya, nelayan setempat mengantar ke pulau pasir Meko dan pulau2 kecil lainnya di sekitar pulau pasir.

#AyoKeFloresTimur

Rabu, 20 Mei 2015

pantai Kawaliwu nan exotic

Kawaliwu, salah satu spot andalan untuk menyaksikan pesona sunset di ujung timur pulau Flores.. Sunsetnya luar biasa... terpampang nyata....(pinjam istilah Syahrini...hehe...).

Dari Larantuka ke pantai Kawaliwu relatif dekat hanya skitar 17 km atau skitar 20an menit..
Hari itu bersama om Ba'i Dimu, teman yg juga suka jepret2.. janjian utk menuju ke Kawaliwu. Skitar jam 16.30 wita kami dr Larantuka... walaupun ada sdikit “gangguan". harus melewati pasukan Polantas yang sedang menjalankan tugas negara yg cukup penting yaitu "tilang".. untungnya STNK/SIM dll dinyatakan Lengkap..namun karena banyak yang ditilang sehingga harus membuang waktu cukup banyak untuk urusan ini... sempat gelisah juga krn kuatir sampai Kawaliwu tidak mendapatkan detik2 saat sang surya kembali ke peraduannya... Setelah urusan dengan pak Polantas selesai.. kami tancap gas... melanjutkan perjalanan... beruntung kondisi jalan dalam kota Larantuka cukup mulus.. namun memasuki kilometer 12, kondisi jalan mulai kurang bersahabat.. ada beberapa  bagian jalan yang rusak ringan sampai berat..kami harus berhati2 karena banyak jalan berlubang . bahkan saat akan mencapai spot yg dituju jalan benar2 rusak parah.. berbatu dan berdebu... namun yang menghibur.. di spanjang jalan.. kami melewati daerah dengan bukit2 yang  menghijau diselingi kebun2 pisang, mente, kelapa, beringin dll...
Setibanya di pantai Kawaliwu.. posisi mentari masih lumayan jauh dr garis horison.. masih punya banyak waktu utk melihat-melihat suasana sekitar pantai...  memandang bukit dan pohon kelapa dengan daun2 hijaunya yang melambai2 menambah kesan exotic khas pantai di daerah tropis.
.
  
Pantai Kawaliwu
Pantai berpasir hitam dengan batu2 kerikil yang bulat2 kecil serta adanya batuan besar membentuk formasi yang indah menambah keunikan pantai ini....

Batuan hitam besar membentuk formasi yang indah di pantai Kawaliwu
Pantai Kawaliwu yang terletak di teluk Hading menghadap ke arah barat daya dengan air laut yang relatif  tenang dipermanis dengan indahnya pohon kelapa yang tinggi menjulang dengan daunnya yg hijau menari2 tertiup angin pantai ... dan  anak2 pantai bermain dan menangkap ikan............


Menangkap ikan
Satu hal yang cukup unik di pantai ini.. di sela-sela batuan besar terlihat beberapa orang sedang menggali pasir/batuan dan membuat ceruk.....ternyata untuk menampung air  yg berasal dari gunung yang bermuara ke laut..dan saat saya menyentuh air di ceruk tersebut...... alamakkkkk..maknyeesssss..... ternyata airnya terasa panass menyengat... rupanya disini terdapat sumber air panas (hotspring) sebagai tempat pemandian... terlihat sebagian orang dengan santainya tiduran di lubang semacam kubangan kecil yg dibuat untuk berendam..

pengunjung pantai Kawaliwu membuat cerukan sebagai tangkapan air panas
untuk berendam atau sekedar menghangatkan bagian tubuh

Saat-saat sunset pun menjelang.. mentari mendekati garis horison.. dan......  jepreettt.....jeprettt...., camera pun beraksi  mengabadikan indahnya sunset... luarr biasa.... mempesona.... 
Sunset di pantai Kawaliwu
View sunset yang indah juga dapat disaksikan dari antara pohon2 kelapa yang berdiri kokoh memenuhi sebagian pantai Kawaliwu ini..


Sunset dengan siluet pohon kelapa di pantai Kawaliwu 
Dalam kunjungan saya ke Kawaliwu beberapa waktu sebelumnya, saya mendapatkan salah satu spot yang juga rekomended untuk mengabadikan sunset.
Di dekat pantai terdapat sumur air tawar.. dimana setiap sore warga sekitar mandi, cuci dan menimba air di sumur umum ini... rekomended juga untuk mengabadikan sunset dengan siluet aktifitas di sumur umum ini..

warga Kawaliwu mengambil air tawar di sumur umum yg ada di pantai 
Aktifitas warga di sumur umum di pantai Kawaliwu saat senja menjelang

Beberapa kali mengantar teman traveler dan fotografer dalam dan luar negeri ke tempat ini. Seorang teman Traveler (backpacker) dari Jerman yang pernah datang ke Larantuka dan nginap di rumahku juga terpesona dengan keindahan sunset di Kawaliwu. Katanya sunset terindah yang pernah dia lihat selama travelingnya selama sebulan di Indonesia.... (biasanya... biasanya loh... orang bule itu jarang bohong..omong apa adanya... eh.. sorry..dia tdk mau disebut "bule".. katanya dia punya nama..jadi disebut saja namanya, Wiebke Re..) hehe..

bersama Wiebke Re atau Ana, backpacker dari Jerman..
menantikan saat-saat sunset di Kawaliwu

Kawaliwu memang menawarkan keindahan yg sempurna terutama untuk menyaksikan sunset... tak bosan-bosannya untuk datang kesini...
Untuk sampai kesini, bagi anda yang berada di luar Larantuka/Flores, bisa menggunakan pesawat /kapal laut dari Denpasar ke Kupang/Maumere dan selanjutnya ke Larantuka.. lalu ke pantai Kawaliwu...

#AyokeFloresTimur
#fromLarantukaWithLoveAndPeace



Senin, 23 Maret 2015

Pekan Semana Santa di Kota Reinha-Larantuka

Larantuka, sebuah kota yang juga dikenal dengan nama 'Kota Reinha' atau 'Nagi Tana' merupakan salah satu kota pusat pengembangan agama Katolik di Indonesia timur khususnya di wilayah Kabupaten Flores Timur provinsi NTT. Selama lima abad lebih telah mewarisi tradisi keagamaan melalui peranan kaum awam (non klerus) pada masa silam. Pengembangan agama tersebut tidak lepas dari peranan para Raja Larantuka, para misionaris, peranan perkumpulan persaudaraan rasul awam (confreria), dan peranan semua Suku Semana serta para Kakang (Kakang Lewo Pulo) dan para Pou (Suku Lema).

Salah satu ritual agama yang terus dilakukan setiap tahun hingga saat ini adalah kegiatan "Semana Santa" dan Prosesi Jumad Agung atau "Sesta Vera". Ritual tersebut merupakan suatu masa persiapan hati seluruh umat Katolik secara tapa, silih dan tobat atas semua salah dan dosa, serta suatu devosi rasa syukur atas berkat dan kemurahan Tuhan yang diterima umat dari masa ke masa dalam setiap kehidupannya. Doa yang disampaikan maupun lagu yang dinyanyikan selama masa ini menggunakan bahasa Portugis / Latin.

Semana Santa adalah istilah orang nagi Larantuka mengenai masa menjelang hari raya Paskah yang diwarnai dengan kegiatan doa bersama (mengaji) di kapela-kapela dan tori (kapela kecil). Doa bersama diawali pada hari Rabu Abu (permulaan masa puasa) sampai dengan hari Rabu Trewa. Orang nagi Larantuka memaknai masa Semana Santa sebagai masa permenungan, tapa, sili dosa dan tobat.
Gereja Katedral renha Rosari Larantuka


Rabu Trewa
Pada hari ini selain doa dan mengaji di kapela-kapela, pada sore hari diadakan lamentasi (Ratapan Nabi Yeremia) di gereja Katedral. Lamentasi dilakukan menurut ritus Romawi jaman dahulu. Pada saat ini, Larantuka menjadi "Kota berkabung"; sunyi senyap, tenang, jauh dari hingar bingar, konsentrasi pada kesucian batin dan kebersihan hidup.

Kamis Putih
Siang hari di "Larantuka yang hening mencekam" dilakukan kegiatan "tikan turo" (menanam tiang-tiang lilin) pada sepanjang jalan raya yang menjadi rute prosesi. Tugas ini dilakukan oleh para mardomu sesuai "promesa-nya" (nazarnya). Aktivitas pada kapela Tuan Ma berlangsung dengan upacara "Muda Tuan" (upacara pembukaan peti yang selama satu tahun ditutup) oleh petugas Confreria yang telah diangkat melalui sumpah.

Selanjutnya Arca Tuan Ma dibersihkan dan dimandikan kemudian dilengkapi dengan busana perkabungan, sehelai mantel beludru warna  biru. Setelah itu kesempatan diberikan kepada umat untuk berdoa, menyembah, bersujud mohon berkat dan rahmat, kiranya permohonannya dikabulkan oleh Tuhan Yesus melalui perantaraan Bunda Maria (Per Mariam ad Jesum). Pintu kapela Tuan Ma dan Tuan Ana baru dibuka pada pagi pukul 10.00 wita.

Sesuai tradisi,  Raja keturunan Diaz Viera de Godinho yang membuka pintu kapela. Sesudah dibuka baru dimulai kegiatan pengecupan Tuan Ma dan Tuan Ana (Cium Tuan) yang berlangsung dalam suasana hening dan sakral.

Jumat Agung
Prosesi Jumat Agung merupakan perarakan menghantar jenasah Yesus Kristus yang memaknai Yesus sebagai inti sedangkan Bunda Maria adalah pusat perhatian, Bunda yang bersedih, Bunda yang berduka cita (Mater Dolorosa).

Pada hari Jumad pagi sekitar pukul 10.00 wita, ritus Tuan Meninu dari Kota Rewido digelar. Setelah berdoa di kapela, Tuan Meninu diarak lewat laut dengan acara yang semarak nan sakral. Prosesi laut melawan arus ini berakhir di Pante Kuce, depan istana Raja dan selanjutnya diarak untuk ditakhtakan pada armada Tuan Meninu di Pohon Sirih. Arca Tuan Ma pun diarak dari kapela menuju Gereja Kathedral. Pada sore hari pukul 15.00, patung Tuan Missericordia juga diarak dari kapela Missericordia Pante Besar menuju armidanya di Pohon Sirih.

Prosesi Laut dari Pantai Rowido membawa patung Tuan Meninu

prosesi Tuan Meninu melewati pelabuhan Amagarapati Larantuka

Dalam pelaksanaannya, perjalanan prosesi mengelilingi kota Larantuka menyinggahi 8 buah perhentian (armida) yakni : (1) Armida Missericordia, (2) Armida Tuan Meninu (armida kota), (3) Armida St. Philipus, (4) Armida Tuan Trewa, (5) Armida Pantekebi, (6) Armida St. Antonius, (7) Armida Kuce, dan (8) Armida Lohayong.

Prosesi patung Tuan Ma

Peziarah 
Urutan armida ini menggambarkan seluruh kehidupan Yesus Kristus mulai dari ke AllahNya (Missericordia), kehidupan manusiaNya dari masa Bayi (Tuan Meninu), masa remaja (St. Philipus) hingga masa penderitaanNya yang dengan tabah dan sabar untuk eselamatan umat manusia.

Patung Tuan Ana dikeluarkan dr Kapela Tuan Ana utk diantar menuju Katedral

Prosesi Jumat Agung

Sabtu Santo
Pada pagi hari umat mengarak kembali Tuan Ma dan Tuan Ana dari Gereja Kathedral untuk disemayamkan di kapelanya masing-masing. Juga patung Tuan Missericordia dan Tuan Meninu diarak dari armidanya kembali ke kapelanya masing-masing.

Minggu Paskah
Pada hari Minggu Paskah diadakan upacara Ekaristi Paskah di Gereja, sedangkan sorenya umat bersama irmau dan pesadu Confreria mengantar patung Maria Alleluya dari kapela Pante Kebis ke Gereja Kathedral untuk disemayamkan selama upacara ekaristi.

Selesai perayaan ekaristi, patung Maria Alleluya diarak kembali ke kapela Pantekebis; setelah pentakhtaan patung Maria Alleluyah, dilakukan acara "sera punto dama" dari para mardomu pintu Tuan Ma dan Tuan Ana yang lama kepada para mardomu yang baru. Acara "sera punto dama" juga dilakukan di Kapela Missericordia Pante Besar setelah mengaji Alleluyah selesai.

Dengan demikian, berakhirlah prosesi suci yang panjang; Semana Santa dan Sesta vera.

Prosesi Semana Santa  ini  selain di Larantuka, juga dilaksanakan di desa Konga dan desa Wureh, Kabupaten Flores Timur.