Kamis, 24 Juli 2014

LEGENDA AE BAMA

Sumber Air di Desa Bama atau disini dikenal sebagai AE BAMA, terletak sekitar 23 km arah barat kota Larantuka, ibukota Kabupaten Flores Timur. Ae Bama merupakan sumber air utama yang menghidupi  desa Bama dan sekitarnya dan dialirkan untuk memenuhi kebutuhan air bersih bagi ribuan penduduk kota Larantuka. Ada cerita rakyat (legenda) tentang Ae Bama.

Air Bama, mengalir tiada henti
Menurut yang empunya cerita...... 
Pada zaman dulu di kampung Onge (sekarang Desa Lewokluo Kec. Demon Pagong) tinggallah 2 orang bersudara yang orang tuanya telah meninggal dunia. Yang laki-laki bernama Bolok Jawa dan  yang wanita bernama Sabu Peni. Kedua bersaudara ini hidup rukun bersama warga desa lainnya; Bolok Jawa bekerja sebagai petani (berladang) dan menyadap lontar (tuak) sedangkan Sabu Peni sehari-hari menenun kain dan mengurus rumah tangga selayaknya wanita di kampung.

Saat itu, salah satu kesulitan di kampung Onge adalah kekurangan air, terutama di saat musim kemarau. Tidak jarang ada penduduk yang meninggal dunia akibat ketiadaan air.
Saat musim kemarau kaum wanita termasuk Sabu Peni, beramai-ramai memasuki hutan untuk mengumpulkan embun pagi yang tergenang di dedaunan.
Pada suatu pagi yang cerah, Sabu Peni memasuki hutan untuk mengumpulkan air dan dia ditemani seekor anjing piaraan milik saudaranya Bolok Jawa. Saat Sabu Peni sibuk mengerjakan pekerjaannya anjing tersebut menghilang dan saat kembali pulang ke kampung anjing tersebut kembali menemaninya. Namun Sabu Peni kaget melihat mulut dan jari-jari kaki anjing tersebut penuh dengan lumpur. Dalam hatinya Peni mengambil kesimpulan bahwa di suatu tempat terdapat sumber air.
Malam harinya Sabu Peni merencanakan agar besok dia kembali ke hutan bersama anjing tersebut.
Esok hari, pagi-pagi benar Sabu Peni mengajak anjng  itu kembali memasuki hutan. Di hutan anjing tersebut menghilang lagi dan saat kembali, mulut dan jari-jarinya penuh dengan lumpur. Maka Sabu Peni pun yakin  bahwa sang anjing telah menemukan sebuah sumber air.
Pada suatu hari Sabu Peni menganyam sebuah bakul kecil, diisi dengan abu dapur sampai penuh dan pada bagian bawahnya diberi lubang tempat abu tersebut tercecer. Malam harinya Sabu Peni tidak dapat tidur dengan pulas.. Dia membayangkan betapa bahagianya warga kampung bila rencananya berhasil, menemukan air sehingga dapat mengakhiri pekerjaan berat kaum wanita mengumpulkan sedikit embun setiap harinya untuk memenuhi kebutuhan air mereka.
Pagi itu, Sabu Peni bangun pagi-pagi sekali, memanggil anjing yang biasa bersamanya ke hutan. Sampai di hutan diikatnya bakul berisi abu dapur di leher  anjing tersebut dan ia pun bekerja sebagaimana biasanya.Anjng pun menghilang ke dalam hutan. Saat ia akan kembali ke kampung, anjing pun datang dan Sabu Peni memeriksa dengan seksama, ternyata mulut dan jari bahkan badan anjing tersebut basah dan penuh lumpur bahkan abu dapur dalam bakul juga telah kosong.  Sabu Peni bergegas menyusuri bekas ceceran abu dapur ditemani anjing tersebut. Perjalanan amat jauh dan sangat melelahkan, melintasi hutan lebat, mendaki gunung dan menuruni lembah. Ia tak memikirkan bahaya yang dapat menimpanya, tujuannya hanya satu, menemukan sumber air.  Dia terus berjalan tak kenal lelah.
Saat hari menjelang tengah hari, sabu Peni tiba di suatu tempat (sekarang disebut Leto Behe). Anjing berlari mendahuluinya dan berhenti disuatu tempat sambil menggonggong seolah-olah memberi petunjuk kepada Sabu Peni. Sabu Peni menemukan daun-daun dan tanah yang basah dan berlumpur, lalu ia membersihkannya. Dikorek dan digalinya tanah yang basah dan berlumpur tersebut dengan sebatang kayu kering, dan lumpur basah itu semakin jernih dengan banyak air memenuhi lubang kecil. Sabu Peni sangat girang hatinya dapat menemukan sumber air . Ia meneguk air bersih sampai puas dan mengisi tempat airnya sampai penuh. Bahkan Sabu Peni mandi sampai puas. Pakaiannya sampai basah kuyup dan mencuci rambutnya yang panjang terutrai. Setelah puas bermain air, Sabu Peni pun kembali ke kampung ditemani sang anjing.

Bolok Jawa yang gelisah dan cemas mencari adiknya, betapa senangnya ketika meihat Sabu Peni, adiknya telah kembali ke kampung dengan selamat  bahkan kembali dengan membawa tempayan air yang sudah penuh. Sabu Peni menceritakan kepada Bolok Jaw tentang adanya sumber air di suatu tempat di hutan yang sangat jauh.
Berita itupun tersebar. Bolok Jawa mengumpulkan beberapa kawan prianya dan pergi menuju Leto Behe dan membersihkan sekitar sumber air untuk memudahkan saat mengambi air. Penduduk  kampung  Onge bergembira sejak saat itu. Sabu Peni disanjung-sanjung dan disayangi segenap warga desa. 
Ae Bama yang bening dan sejuk
Setelah sebulan lamanya, pada suatu malam Sabu Peni bermimpi. Dalam mimpinya ia bertemu dengan seorang pria tampan dan gagah, sang pemuda itu menceritakan padanya bahwa dialah pemilik sumber air itu. Sang pemuda telah jatuh cinta padanya  sejak  melihatnya masuk ke hutan sampai ke Leto Behe. Sang Dewa Air (dalam bahasa Lamaholot disebut  Nitung), memberinya air  karena cintanya kepada gadis Sabu Peni, dan ia berjanji apabila Sabu Peni menerima cintanya, maka ia akan menjadikan sumber air itu menjadi besar dan deras, alirannya sampai ke laut dan tidak akan berkurang sepanjang masa.

Pagi harinya Sabu Peni menceritakan mimpinya kepada Bolok Jawa, namun anehnya Bolok Jawa pun berminpi yang sama dengan Sabu Peni. Sabu Peni ditanyai kesediaannya. Dan ternyata Sabu Peni sangat senang hatinya. Dia menerima tawaran sang Nitung asalkan warga kampung bisa mendapatkan sumber air untuk kehidupan warga. Sabu Peni menyetujuinya dan  Bolok Jawa pun merelakan adiknya untuk menjadi istri Sang Dewa Air (Nitung). Walaupun mereka mengetahui bahwa seorang  manusia akan meninggalkan dunia fana ini apabila Dewa/Nitung telah jatuh cinta kepadanya.

Setiap malam saat tidur, dalam mipinya, sa
ng Nitung  selalu datang. Sabu Peni selalu bertemu dengan Dewa Air. Dia menunjukan kehidupannya dikemudian hari setelah menikah dengannya. Kemewahan hidup sang Dewa Air dan keinginannya untuk membantu warga kempung terlepas dari penderitan akibat kekurangan air mendorong Sabu Peni untuk mengorbankan dirinya untuk segera menemui kehidupan yang baru.

Bolok Jawa merasa sangat tersiksa mengenang hari-hari kehidupannya dimasa depan tanpa saudarinya. Namun Sabu Peni menghiburnya dengan berkata bahwa Bolok Jawa akan dikaruniakan panjang umur dan bahagia di hari tuanya bersama istrinya. Sabu Peni pun memilih calon istri untuk kakaknya, seorang gadis yang rajin, anak saudara paman laki laki ibu mereka yang tercinta. Akhirnya Bolok Jawa pasrah. Bolok Jawa menyetujui adiknya Sabu Peni menikah dengan Dewa Air.

Pada hari yang telah ditetapkan, semua warga kampung berkumpul, dan  pada malam hari di adakan pesta yang sangat meriah. Keesokan harinya Sabu Peni berdandan dan semua warga desa bergerak dari kampung  Onge menuju  Leto Behe. Setibanya mereka di situ satu persatu mereka memeluk dan mencium Sabu Peni untuk terakhir kalinya karena Sabu Peni akan meninggalkan mereka kawin dengan sang Dewa Air. Para wanita menangis meratapinya, namum Sabu Peni tetap tegar dan tidak meneteskan air mata. Yang terakhir, berpamitan adalah saudara satu-satunya, sang kakak, Bolok Jawa yang selama hidupnya menjaga dan merawatnya. Mereka berpelukan cukup lama, semua yang ada di situ pun  turut menangis melihat perpisahan kedua anak yatim piatu itu. Sang kakak yang terlihat tegar pun tak bisa menahan deraian air mata. Sementara itu Sabu Peni berbisik di telinga Bolok Jawa, "apabila air telah naik menutupi wajah ku, sanggulku akan terlepas, rambut ku akan bertebaran di permukaan air, maka akan terdengar letusan yang amat dahsyat dan kalian semua akan berlari meninggalkan tempat ini, tetapi engkau janganlah takut, berdiri ditepi kali ini dan apa saja yang hanyut  terbawa air ke arah mu, ambillah dan bawalah ke rumah mu. Kedua nya berhenti menangis.

Hari telah siang , Sabu Peni meluruskan kakinya ke selatan dan tenang menantikan saat saat terakhir hidupnya.
Air mulai naik sampai akhirnya menutupi wajahnya. Sanggulnya pun terlepas dan rambutnya terurai bertebaran di atas permukaan air, maka terjadilah letusan yang sangat dahsyat, semua orang berlari berhamburan kembali ke kampung, namum Bolok Jawa masih tetap berdiri sendiri sambil menantikan apa yang di pesankan adiknya. Tak lama kemudian air menghayutkan sebatang kayu kering, seutas tali hutan dan beberapa daun kering kearahnya. Bolok Jawa mengambilnya  dan membawa pulang ke rumah sambil menangis. Setibanya di rumah, diletaknya di pondok tempat ia menyadap lontar. Namum keesokan harinya benda tak berharga itu berubah wujud menjadi sebatang gading besar dan panjang, seutas rantai emas dan keping-keping uang perak. Bolok Jawa mengambil benda itu dan menyimpannya di rumahnya. Segenap warga kampung datang melihat benda-benda berharga yang diyakini merupakan “mahar/mas kawin” atau “ belis” Sabu Peni yang diberikan oleh suaminya, Dewa Air Leto Behe.Dan sejak saat itu pun sumber air Leto Behe semakin deras dan terus mengalir tiada henti membentuk sungai yang mengalir sampai ke laut

Saat musim berkebun tiba, Bolok Jawa memilih membuka kebun dekat lokasi sumber air Leto Behe. Di kala musim jagung muda tiba babi ladang masuk ke ladangnya dan memakan jagungnya, hatinya sangat sedih, Bolok Jawa memutuskan memasang jerat. Keesokkan paginya seekor landak jantan berhasil di tangkapnya, hatinya sangat lega dan puas. Landak tersebut dimasak dan d santapnya sampai habis.

Beberapa hari kemudian menjelang sore terdengar dari kejauhan  ada  suara bayi menangis. Bolok Jawa mendekati sumber suara yang berasal dari arah Leto Bele. Sampai disana terdengar suara mengatakan  “Wahai saudaraku Bolok Jawa, begitu tega engkau menangkap binatang peliharaan kami tanpa seizin kami”. Suara itu mirip skekali dengan suara Sabu Peni.  Suaranya terdengar jelas datangnya dari arah batu besar dekat sumber air. Bolok Jawa pun memanggil,  katanya “Sabu Peni adikku, aku sudah di sini bagaimana aku dapat bertemu dengan engkau dan suamimu?”  Sabu Peni menjawab: “suamiku sedang memancing, tetapi aku mau bertemu denganmu,  pejamkan matamu sejenak”.  Bolok Jawa pun menurutinya. Beberapa saat kemudian, saat membuka matanya ternyata ia sudah berada di sebuah rumah yang mewah. Bolok Jawa di persilahkan masuk, keduanya bercerita kehidupan masing masing. Sabu Peni menceritakan kehidupan manusia dengan roh halus seperti dirinya, Sabu Peni mengatakan bahwa landak yang di tangkap itu adalah ayam piaraannya. Kesempatan baik itu digunakan Sabu Peni untuk menunjukan harta suaminya, ternyata suaminya dulunya adalah seorang pemimpin di kampungnya dan semua warga sangat segan dan patuh kepadanya. Kemudian Sabu Peni berkata “jikalau suami ku pulang pasti dia sangat gembira dan akan menyedikan makan bagimu. Tapi, janganlah engkau makan sebelum cincin di jari manis di tangan kanannya di serahkan kepada mu. Semua harta itu tidak akan kekal tapi cincin itu akan kamu miliki secara turun temurun, simpanlah bersama gading, rantai emas dan uang perak sebagai kenangan kita berdua”.


Hari sudah siang, suaminya kembali, segera Sabu Peni menyampaikan berita kunjungan kakaknya. Dewa Air sangat senag, malam harinya di adakan pesta, namum dikala santap bersama tiba, Dewa Air mempersilakan iparnya makan. Bolok Jawa menolaknya sampai beberapa kali, akhirnya Dewa Air memohon agar Bolok Jawa meminta apa saja yang ingin di perolehnya. Bolok Jawa meminta cincin permata di jari manis Dewa Air. Dewa Air membukanya lalu mengenakan di jari manis Bolok Jawa, kemudian mereka bersantap bersama. Menjelang pagi Sabu Peni dan suaminya mengantarkan Bolok Jawa di depan pintu masuk perkarangan rumah. Setelah berpamitan mereka berpisah untuk selama lamanya. Dewa Air meminta Bolok Jawa memejamkan matanya, seelah dibuka ternyata dirinya berada di tepi sumber air Leto Behe. Cincin yang di bawanya kemudian di simpan bersama gading, rantai emas dan uang perak di rumahnya.
Menurut cerita, gading, rantai emas dan uang perak serta cincin milik Bolok Jawa, sampai sekarang oleh keturunannya masih tersimpan di rumah adat di kampung Lewokluok.

Terlepas dari cerita rakyat tersebut, saat ini Ae Bama merupakan salah satu tempat pilihan bagi warga Larantuka untuk rekreasi. Pada akhir pekan atau hari libur banyak warga kota Larantuka yang menuju Bama untuk sekedar  mandi2 di aliran sungai yang bertanga-tangga kecil ataupun mencuci pakaian, mobil dan dll. Beberapa warga memanfaat air bama untuk mengairi sawah. 

Sedikit sawah di sekitar Ae Bama


Tidak ketinggalan, bagi para fotografer, Bama juga merupakan salah satu spot favorit untuk foto-foto....
Udi Sakan, mengambil gambar di skitar Ae Bama
Bila ada waktudan kesempatan, marilah rekreasi ke Ae Bama....

Jumat, 18 Juli 2014

Pulau Pasir "Dreamland", Mekko, Adonara, Nusa Tenggara Timur

Salah satu fenomena alam yang terjadi di lautan adalah terbentuknya tumpukan pasir (pasir timbul/pulau pasir) di tengah laut. Saat air laut pasang naik biasanya pulau pasir tersebut akan tenggelam (tidak terlihat di permukaan) dan baru terlihat saat air laut pasang surut. Dan salah satu “pasir timbul” yg dapat dikunjungi adalah di laut depan kampung Mekko, di timur pulau Adonara, Nusa Tenggara Timur. 


Suatu hari saya diajak oleh salah seorang guru SM3T asal Manado (Natalia “Tata” Sege) yang bertugas di Kecamatan Witihama, Adonara untuk berkunjung ke tempat tersebut.
Dari Larantuka, saya menyeberang dengan perahu motor kecil dengan biaya  Rp.40.000 utk orang yang membawa sepeda motor (orang tanpa kendaraan tarif hanya Rp5.000/penumpang). Hanya  memakan waktu 5 menit  saya sudah berada di pelabuhan rakyat Tanah Merah di Adonara. Sekanjutnya saya menempuh perjalanan darat dari Tanam Merah menuju desa Pledo di kecamatan Witihama, sejauh + 50 km selama 1 jam dengan kondisi jalan sebagian besar aspal yang terpelihara baik dan di beberapa lokasi  jalan agak rusak. Setelah bertemu dengan Tata, dan dia juga mengajak seorang penduduk lokal, pak Philip Tara (Papi), kami  bertiga pun menuju ke Mekko, satu perkampungan orang Bajo yang mendiami pesisir pantai di ujung timur pulau Adonara.

Kampung nelayan Mekko


Perjalanan dari Pledo ke Mekko cukup jauh dan harus melewati jalan semenisasi, jalan tanah dan jalan setapak. Beberapa jalan sangat berdebu dan kadang berbatu-batu. Seringkali kami harus bertanya-tanya pada penduduk yang ditemui dijalan. Ada banyak persimpangan jalan setapak yang kadang membuat kami bingung dan mengandalkan “feeling so good” namun terkadang jalan yang kami lalui benar dan kadang salah sehingga harus berbalik ke arah semula dan mengambil jalan baru.  Namun dalam perjalanan ini kami dapat melihat pemandangan alam yang sangat indah.. bukit dan padang savana dan terlihat ternak kuda yg sedang merumput.
bukit dengan padang savana

padang savana dengan ternak kuda yang sedang merumput
 Bahkan kadang kami harus melewati tepi areal hutan bakau.
pantai dengan panorama hutan bakau dan bukit savana
Setelah sekitar 1 jam berjalan akhirnya kami pun tiba di Kampung Mekko. Suatu perkampungan nelayan yang penduduknya sebagian besar dari suku Bajo, Sulawesi.
Dengan menyewa kapal nelayan kecil dengan biaya Rp 100.000,- kami bertiga dengan diantar oleh 3 orang nelayan  yang adalah pemuda di kampung tersebut kami menuju pulau pasir di tengah laut. Kurang lebih 20 menit kami pun mendekati pulau pasir tersebut.  Tampak gundukan pasir yg timbul di tengah laut, seluas lapngan sepak bola namun bentuknya agak memanjang dan melengkung, pasirnya putih bersih. Dan di atasnya terlihat banyak burung camar bermain dan beterbangan. Wow.... bagaikan sebuah DREAMLAND... negeri impian.. alias hanya di mimpi2.....hehehe...

gundukan pasir (pulau pasir) di tengah laut
terlihat bayak burung camar yang bermain dan beterbangan di atas pulau pasir


Setelah dengan perahu berputar mengelilingi pulau pasir tersebut kami pun melabuhkan perahu dan kami pun mendarat  di pulau pasir.  Berasa seperti menginjakkan kaki di planet lain.... hehehe...

perahu yang mengantar kami ke pulau pasir

Kami berjalan menyusuri pasir dan bermain2 meniikmati indahnya pulau pasir; bermain air laut yang bening dan melihat pemandangan sekitarnya. Tentunya tidak lupa kami mengabadikan  momen2 spesial kami di pulau pasir dengan foto2 narsis... hehehe.. 

pulau pasir Mekko yang indah, dengan pasir putih dan air laut yang bening

pasir putih yang lembut, bersih dan air laut yang bening dan hangat...

cieee... tidak lupa foto-foto narsis

jjiiihaaaa.... aku melayang....

the girl and her footprints...
Di kejauahan terlihat dua pulau kecil yang diberi nama Watan Peni. Menurut nelayan yang mengantar kami ke pulau pasir, pulau itu mempunyai legenda tersendiri namun dilarang untuk dipublikasikan atau diceritakan karena dapat menyinggung perasaan salah satu rumpun keluarga/suku di pulau Adonara... (saya penasaran juga tentang ceritanya seperti apa..).  Juga terdapat 2 pulau lain dan yang satunya diberi nama pulau kelelawar karena terdapat banyak sekali kelelawar yg menjadikan pulau tsb sebagai rumahnya... Sayangnya kami tidak sempat berkunjung ke pulau Watan Peni dan pulau kelelawar, hanya dapat melihatnya dari kejauhan.

pulau Watan peni, yang punya legenda tersendiri.
(jika air laut surut kedua pulau ini menjadi bersambung)
Setelah kurang lebih 2 jam berada di pulau pasir, kami pun kembali ke Mekko dengan sambil menikmati panorama sunset yang sungguh indah. Dan saya pun kembali ke rumah saya di Larantuka..
Perjalanan kali ini cukup melelahkan namun terbayarkan oleh pemandangan alam dan fenomena pulau pasir yang sangat menakjubkan... Sungguh pengalaman perjalanan yang sangat menyenangkan...
Ingin suatu saat kesana lagi...


                 Ayo.... mari berkunjung ke pulau pasir, di Adonara, Nusa Tenggara Timur.. dan rasakan sensasinya...... dijamin...!!!...